DOWNLOAD LOGO KABUPATEN KARO (KARO REGENCY)

 
DESKRIPSI
Kabupaten Karo adalah sebuah Kabupaten yang masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatra Utara. Secara posisi Kabupaten Karo terletak di titik kordinat 97° 55' 00” -  98° 38' 00” Bujur Timur dan 2° 50’ 00" - 3° 19’ 00" Lintang Selatan, dimana pada sisi sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang, sedang pada sisi sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Samosir, lalu pada sisi sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kabupaten Dairi, sedangkan disebelah baratnya berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi Aceh). Secara umum wilayah Kabupaten Karo merupakan kawasan dataran tinggi , dengan ketinggian diantara 600 hingga 1.400 meter diatas permukaan laut. 

Kabupaten Karo sendiri wilayahnya terdiri dari 17 Kecamatan, 10 Kelurahan dan 259 Desa. Berdasarkan data statistik pada tahun 2020, jumlah penduduk Kabupaten Karo mencapai 404.998 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Karo yaitu 2.127,25 km², sehingga tingkat sebaran penduduknya mencapai 190 jiwa/km². Kabupaten Karo berlokasi di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan Sumatra Utara, memiliki nama lain Tanah Karo Simalem yang beriklim sejuk. Sektor utama penopang perekonomian Kabupaten Karo didominasi oleh sektor pertanian, dimana hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wilayah Kabupaten Karo yang memiliki hamparan lahan pertanian yang luas serta pola kehidupan masyatakatnya yang banyak menjadi petani dan memiliki sikap tangguh dan ulet. 

Destinasi wisata yang ada di Kabupaten Karo ada beragam, diantaranya yaitu wisata Bukit Gundaling yang terletak di Jl. Jamin Ginting Gundaling kecamatan Berastagi, lalu ada wisata Desa Peceren berada di sebelah utara kota Berastagi, kemudian ada Taman Alam Lumbini yang ada di desa Tongkoh kecamatan Dolatrayat, dan ada Museum Pusaka Karo Berastagi yang ada di Kelurahan Gundaling. Selain wisata tersebut, ada juga wisata pengamatan Gunung Sinabung atau melakukan pendakian ke gunung ini, kemudian ada pemandian air panas Lau Sidebuk-Debuk di desa Daulu kecamatan Berastagi, kemudian ada wahana Funland Mickey Holiday di desa Pecen kecamatan Berastagi, lalu ada Bukit Kubu Berastagi di kecamatan Sempajaya, dan Wisata Kuliner di Panatapan.  

Selain destinasi wisata diatas, kita juga bisa berkunjung ke sejumlah destinasi lainnya seperti wisata Danau Lau Kawar yang ada di kaki Gunung Sinabung, kemudian ada Air Terjun Sikulikap yang ada di Jl. Jamin Ginting desa Doulu kecamatan Berastagi, lalu ada Gundaling Farm, Agrowisata sapi perah yang dimiliki dan dikelola PT. Putra Indo Mandiri Sejahtera (PT. PIMS), kemudian ada wisata Kebun Raya Tongkoh yang ada di kecamatan Berastagi dan ada wisata Kampung Tradisional Desa Lingga yang masih menjaga budaya dan tradisi suku Karo, berlokasi sekitar 15 km dari pusat kota Berastagi. Selain wisata tadi masih ada wisata lainnya seperti Trekking ke gunung Sibayak, air terjun dua warna, air terjun Batu Belah, Sinabung Hill Resort, kebun madu Efi dan Sapo Juma di desa Tonggong kecamatan Merek.

Website resmi Kabupaten Karo (Karo Regency) :

SEJARAH KABUPATEN KARO

Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka adalah pemerintahan kaum keluarga. 

Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan. Ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni: Dasar Adat “Sintua-Singuda” dan Dasar “Bere-bere”.
Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. 

Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat. Sementara itu, Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan. 

Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu” dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain dapat dibaca "…jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan diwarisi oleh turunan langsung yang sekarang ada memegang jabatan itu…". Marilah kembali melihat sistem pergantian Perbapaan Urung dan Pengulu Kesain, sebelum datangnya penjajahan Belanda ke daerah dataran Tinggi Tanah Karo. 

Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. 

Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi. Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja. Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan dikembalikan kepada yang berhak.

Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara tak semena-mena  untuk jangka waktu 99 tahun (kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. 

Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau. Perlawanan rakyat Sunggal dipimpin oleh Datuk Kecil  (Datuk Muhammad Dini), Datuk Abdul Jalil dan Datuk Sulung Barat.Bantuan dari tanah karo dipusatkan di kampung Gajah. Karena hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan, pihak Belanda mengirim ekspedisi ke Sunggal sampai tiga kali. Akibat peperangan itu, di pihak tentara Belanda banyak jatuh korban. Serdadu berkebangsaan Eropah tewas 28 orang dan serdadu Bumi Putra tewas 3 orang. Yang luka-luka, serdadu Eropah 320 orang dan serdadu Bumi Putra 270  orang. 

Garamata yang mengadakan perlawanan pada awal abad ini (1901-1905) juga berpendapat bahwa jika Belanda dibiarkan ke Tanah karo maka tanah rakyat mungkin sekali diambil untuk perkebunan. Pikiran ini didasarkan pada pengalaman orang Karo di dataran rendah, di Deli dan Langkat. Selanjutnya dia juga berpendapat bahwa orang Karo mempunyai cara hidupnya sendiri  dan istiadatnya sendiri dan tidak perlu dicampuri oleh orang Belanda (lihat Masri Singarimbun, Garamata: Perjuangan melawan Penjajah Belanda, 1901-1905, Balai Pustaka, Jakarta, 1992). Namun kekuatan Belanda yang begitu besar tidak dapat dibendung. 

ARTI LOGO KABUPATEN KARO

Berikut adalah makna/arti dari logo Kabupaten Karo (Karo Regency) :
  1. Uis Beka Bukuh, lambang kepemimpinan
  2. Bintang Bersudut Lima, melambangkan bahwa suku Karo terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yang terdiri dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I
  3. Padi, melambangkan Kemakmuran yang terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan R.I
  4. Bunga Kapas, lambang keadilan sosial, cukup sandang pangan yang terdiri dari 8 buah sesuai dengan bulan kemerdekaan R.I
  5. Kepala Kerbau, melambangkan semangat kerja dan keberanian
  6. Tugu Bambu Runcing, melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan R.I
  7. Markisa, Kol dan Jeruk, melambangkan hasil pertanian spesifik Karo yang memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo
  8. Jambur Sapo Page, melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung (tempat menyimpan padi)
  9. Uis Arinteneng, lambang kesentosaan
  10. Rumah Adat Karo, melambangkan ketegaran seni, adat dan budaya Karo
 
DOWNLOAD LOGO KABUPATEN KARO
Untuk mendownload logo Kabupaten Karo (Karo Regency) dengan format JPG/JPEG (Joint Photographic Experts Group), PNG (Portable Network Graphics) tanpa background atau CDR (CorelDraw) untuk yang bisa diedit, langsung saja klik link dibawah ini:
 
download-logo-kabupaten-karo-sumatra-utara-vector-coreldraw-logoawal

LINK DOWNLOAD

>>  LOGO KABUPATEN KARO  <<
Format JPG   |   Format PNG   |   Format CorelDraw

0 Response to "DOWNLOAD LOGO KABUPATEN KARO (KARO REGENCY)"

Posting Komentar